Dikuasakan oleh Blogger.
RSS


PENGALAMAN HIDUP HAYY BIN YAQDZON DALAM
PEMBUKTIAN ADANYA ALLAH SWT

Oleh : Afif Nurafifah[1]


Hayy Bin Yaqdzon adalah sebuah judul buku karya Ibnu Thufail yang sampai saat ini merupakan satu-satunya karya yang masih bisa dibaca dari beberapa kitab dan risalah yang ditulisnya.[2] Karya Ibnu Thufail ini merupakan suatu kreasi yang unik dari pemikiran filsafatnya.[3] Ia telah memilih suatu metoda khusus dalam bentuk kisah khayalan yang dipaparkan dengan gaya yang menarik.[4] Dalam tulisan ini penulis akan membahas bagaimana pengalaman hidup tentang ketuhanan sang tokoh utama dalam buku karya Ibnu Thufail tersebut adalah Hayy Bin Yaqdzon. Sebelum penulis membahas lebih lanjut mengenai pengalaman hidup Hayy Bin Yaqdzon, terlebih dahulu akan penulis ulas mengenai biografi pengarangnya, yaitu Ibnu Thufail.
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Abdul Malik Ibnu Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Thufail al-Qisiy. Dia dilahirkan di Cadix, Provinsi Granada,  Spanyol (Andalus) pada  tahun 506/1110 M.[5] Ibnu Thufail termasuk dalam keluarga suku Arab yang terkemuka, Qais. Dalam bahasa latin ia populer dengan sebutan Abu Bacer. Pada masa khalifah Abu Ya’kub Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Ibnu Thufail meletakkan jabatannya sebagai dokter pemerintahan pada tahun 587 H/ 1182 H. Karena alasan usianya yang sudah lanjut, ia meminta Khalifah agar Ibnu Rusyd, muridnya, menggantikan kedudukannya. Semasa hidupnya Ibnu Thufail menerina penghargaan dari Khalifah hingga kematiannya.[6]
Kembali ke pembahasan mengenai bagaimana pengalaman hidup Hayy Bin Yaqdzan yang dikarang oleh Ibnu Thufail. Hayy Bin Yaqdzon bermakna Yang Hidup Putra Yang Bangun. Hayy Bin Yaqdzon adalah tokoh utama dalam karya tulis Ibnu Thufail, tetapi sebelumnya juga sudah dipakai oleh Ibnu Sina sebagai tokoh utama dalam sebuah risalah pendeknya.[7] Untuk membahas kisah Hayy Bin Yaqdzon pertama-tama kita bahas mengenai kelahiran atau asal-usul Hayy Bin Yaqdzon yang memiliki dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa Hayy terlahir secara benar. Ia terlahir sebagaimana manusia biasa. Ibunya adalah adik perempuan kandung Maharaja di sebuah kerajaan pada sebuah pulau di kerajaan Hindia yang dilewati garis katulistiwa.[8]

Ayahnya bernama Yaqdzon. Ia menikahi adik perempuan Maharaja secara sembunyi-sembunyi, hal ini dilakukan karena tidak mendapatkan restu dari sang Raja. Ketika sang istri melahirkan, karena khawatir akan mendapat tekanan dan aniaya Raja, ia letakkan bayi tersebut dalam peti lalu dihanyutkan ke lautan. Kemudian ombak membawa peti tersebut hingga terdampar di pulau Wak-wak.[9] Bayi yang dimaksud adalah Hayy. Lalu kemudian seekor rusa yang baru saja ditinggal mati oleh anaknya segera mendekati peti, yang kemudian menganggap bahwa yang ada dalam peti tersebut adalah anaknya. Sebagai lazimnya seorang ibu, rusa itu menyusui bayi itu dan begitu juga sebaliknya, bayi itu memandang rusa yang sedang menyusuinya itu adalah ibunya.[10]
Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa Hayy terlahir secara dzati atau secara alami. Maksudnya adalah bahwa ia tercipta secara tiba-tiba langsung muncul dari dalam tanah. Hayy berasal dari segumpal tanah liat yang sekian lama telah mengendap di dalam bumi pulau wak-wak. Dikatakan pula bahwa gumpalan tanah tersebut mengandung ruh yang mana gumpalan tanah tersebut terbagi menjadi dua. Yang keduanya dibatasi oleh selaput tipis, yang sangat lembut dan berbentuk udara yang berhubungan dengan ruh. Dan ruh ini merupakan urusan Allah.[11] Dari dalam gumpalan tanah tersebut keluar bayi manusia yang menangis dikarenakan kelaparan dan kehausan. Kemudian seekor rusa betina yng sedang kehilangan anaknya melintasi tempat itu. Dan ketika melihat di depannya ada bayi yang menangis, terbitlah rasa cinta dari dalam kalbunya. Kemudian segera ia asuh dan susui bayi tersebut hingga dewasa.[12]
Selanjutnya, dalam risalah Hayy Bin Yaqdzon ini berisi berbagai rumus filsafat yang disampaikan dengan lambang Hayy bin Yaqdzon sebagai lambang akal pikiran, sedangkan teman-temannya (Asbal, salaman, masyarakat, pen) melambangkan selera, syahwat, perasaan marah, dan tabiat-tabiat lainnya yang lazim ada pada diri manusia. Diskusi antara Hayy dengan teman-temannya merupakan lambang pertentangan antara akal pikiran dan selera syahwat.[13] Kemudian setelah Hayy beranjak dewasa, ia juga mulai berfikir lebih luas kemudian dari hasil pengamatan dan pemikirannya tentang alam semesta serta pengalaman hidupnya, hayy sampai  pada suatu kepastian bahwa alam ini semua adalah diciptakan oleh Allah. Dengan akalnya, ia telah mengetahui adanya Allah.[14] Dalam membuktikan mengenai adanya Allah, Ibnu Thiufail mengemukakantiga argumen sebagai berikut.
a.       Argumen gerak (al-harakat)
Argumennya tentang gerak ini ialah bermaksud bahwa sesuatu yng bergerak itu tidak mungkin bisa untuk bergerak sendiri tanpa adanya penggerak yang berada di luar alam dan juga berbeda dengannya. Penggerak itu adalah Allah SWT. Dalil gerak alam sebagai bukti atas adanya Allah ini sudah dikenal secara meluas dalamkalangan filsof Islam. Dalil itu sendiri serasal dari Aristoteles dan juga tidak bertentangan dengan Al-Qur’an yang menghimbau manusia untuk mengamati dan memikirkan segala hal yang mengitarinya.[15]


b.      Argumen Materi (al-madat) dan bentuk (al-shurat)
Menurut Ibnu Thufail, argumen ini dapat membuktikan adanya Allah yaitu dengan didasarkan pada fisika dan masih ada hubungannya dengan dalil yang pertama (Argumen gerak). Yang tersusun dalam pokok pikiran yang terkait antara satu dengan yang lainya, sebagai berikut :
1.      Segala yang ada di bumi ini tersusun dari materidan bentuk.
2.      Setiap materi membutuhkan bentuk.
3.      Bentuk tidak mungkin berekstitensi penggerak.
4.      Segala yang ada untuk bereksistensi membutuhkan peserta.
Dari argumen di atas dapat dibuktikan adanya Allah sebagai pencipta alam ini. Ia Maha Kuasa dan bebas memilih serta tidak berawal dan berakhir.[16]

c.       Argumen al-Ghaiyyat dan al-‘inayat al-Ilahiyyat.
Argumen ini berdasarkan pada kenyataan bahwa segala yang ada di alam ini mempunyai tujuan tertentu. Dan hal ini merupakan inayah dari Allah. Menurut Ibnu Thufail, alam ini tersusun sangat rapi dan sangat teratur. Sebagaimana yang bisa kita lihat sekarang ini, semua pelanet baik itu matahari, bulan, bintang, dan lainnya beredar secara teratur. Apalagipenulis sendiri pernah mempelajari bagaimana susunan alam semesta ini ketika berada di bangku sekolah menengah atas. Begitu juga dengan jenis hewan, semuanya dilengkapi dengan anggota tubuh yang banyak rupa. Semua anggota tubuh tersebut mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang sangat efektif kemanfaatannya bagi hewan yang bersangkutan.[17]
Ketiga argumen yang dikemukakan oleh Ibn Tufail ini membuktikan adanya Allah sebagai sang pencipta.


Referensi :
-         Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1992. Cet.3.
-         Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009. Cet. 1.
-         Ibnu Thufail, Hayy Bin Yaqzon. Yogyakarta: Navila, 2010. Cet. 1.
-         Sirajuddin Zar, Filsafat Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2010. Cet. 4.


[1] Afif Nurafifah adalah seorang mahasiswi IAIN Syekh Nurjati Cirebon Jurusan Tafsir Hadits Semester tiga kelas B.
[2] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1992. Cet.3. hal, 144.
[3] Ibid,
[4] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam. hal, 145.
[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2010. Cet. 4. hal, 205.
[6] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam. Ibid, hal. 206.
[7] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009. Cet. 1, hal. 213.
[8] Ibnu Thufail, Hayy Bin Yaqzon. Yogyakarta: Navila, 2010. Cet. 1, hal. 2.
[9] Ibnu Thufail, Hayy Bin Yaqzon. Yogyakarta: Navila, 2010. Cet. 1, hal. 2.
[10] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam. Ibid, hal. 210.
[11] Ibnu Thufail, Hayy Bin Yaqzon. Yogyakarta: Navila, 2010. Cet. 1, hal. 3.
[12] Ibid.
[13] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009. Cet. 1, hal. 219.
[14] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam. Ibid, hal. 212.
[15] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1992. Cet.3. hal, 148.
[16] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam. Ibid, hal. 214.
[17] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam. Ibid, hal. 214-215.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS